Pagi itu mendung datang menyelimuti dibarengi tetesan rintik-rintik hujan yang turun di Desa Tanjung Beringin. Arus Sungai Subayang melintasi di desa itu lumayan deras, membuat tingginya curah air. Dari arah permukiman warga, suara musik talempong yang dibawakan ibu-ibu sayup-sayup terdengar.
Hari itu Minggu, (15/11/2020), Raja Kerajaan Gunung Sahilan, Rantau Kampar Kiri, Tengku Muhammad Nizar, bersama tokoh masyarakat adat, dan puluhan warga desa berkumpul guna menggelar kegiatan Sema atau Semah Rantau.
Semah Rantau merupakan agenda tahunan sejak ratusan tahun lalu. Namun, lima tahun belakangan ini, telah menjadi sebuah rangkaian agenda pariwisata, yakni Festival Subayang yang digagas oleh para pemuda setempat yang peduli terhadap kelestarian adat dan kepariwisataan di desa itu.
Pelaksanaan Festival Subayang ini menjalin kerjasama dengan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, Dinas Pariwisata Riau, serta Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kampar. Sedikitnya ada 80 wisatawan yang hadir dengan mematuhi protokol kesehatan Covid-19.
Lokasi iven tersebut, berada di dalam kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang – Bukit Baling, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Kehidupan warga desa di sana sangat bergantung dengan alam. Bila digali secara maksimal potensi pariwisata alamnya bisa juga membantu nilai ekonomi warga setempat.
Tradisi Semah Rantau dimulai dari melaksanakan ziarah makam atau kubur yakni makam Datuk Berdarah Putih dan Datuk Pagar. Menurut Raja Gunung Sahilan, Datuk Berdarah Putih, konon ceritanya memiliki darah berwarna putih dan Datuk Pagar memiliki kesaktian menjinakan harimau.
Setelah kegiatan ziarah kubur, agenda selanjutnya adalah membuang tengkorak kepala kerbau. Puluhan warga tua-muda berkumpul berbaris menaiki sampan yang dihias. Para ketua suku memakai pakaian kebesaran, sementara para warga memakai pakaian terbaik, menuju sungai di batas Desa Gajah Betalut.
Rombongan dipimpin Raja Gunung Sahilan, membawa kepala kerbau yang sudah dikuliti dan diambil bagian dagingnya, sehingga tinggal tulang tengkorak dan tanduk utuh. Bagian kepala kerbau ini untuk dibuang ke aliran Sungai Subayang sembari membacakan doa dan selawat.
“Kegiatan Semah Rantau membuang tengkorak kerbau ke sungai hal yang biasa dilakukan warga Desa Tanjung Beringin. Pada hari sebelumnya, daging kerbau dikuliti tanpa ada sisa, dimasak gulai. Lalu, dibagi-bagikan kepada warga dan tamu-tamu yang datang. Acara ini intinya mamanjatkan doa dan selawat sekaligus menyampaikan rasa syukur kepada Tuhan,” kata Tengku Muhammad Nizar.
Setelah acara itu selesai, kegiatan selanjutnya yakni, acara makan bajambau dilanjutkan panen atau mengambil ikan dari lubuk larangan. Lubuk larangan adalah satu wilayah di sungai Subayang, ditetapkan secara adat, yang tidak boleh diambil ikannya selama 1 tahun sampai ada ketentuan dari tokoh adat.
Lubuk larangan di Desa Tanjung Beringin memiliki panjang sekitar 300 meter, lokasinya persis berhadapan dengan permukiman warga. Di bentangan itu merupakan tempat ikan tumbuh dan berkembang tanpa gangguan. Bila ada orang yang menggangu bisa dikenakan sanksi adat setempat.
Hadir pada panen tersebut, Gubernur Riau H Syamsuar bersama Kapolda Riau Irjen Pol. Agung Setya Imam Effendi SH, SIK, M.Si. Mereka berdiri di atas sampan menjajal panen ikan menggunakan jala sambil didampingi warga setempat.
Namun, sore itu cukup sulit mendapat ikan, karena air sungai masih tinggi dan dalam. Hanya beberapa ikan yang di dapat. Pasalnya, pada tahun ini pelaksanaan panen ikan digelar saat musim penghujan. Berbeda seperti biasanya yang dihelat pada musim kemarau.
Gubernur Riau mengatakan, tujuan ia datang pada iven tersebut guna membantu mempromosikan pariwisata. Dirinya datang didampingi istri, Kapolda Riau Irjen Pol. Agung Setya Imam Effendi SH, SIK, M.Si beserta istri. Kemudian, Sekda Riau, H Yan Prana Jaya, Kepala BBKSDA Riau, Suharyono, Kepala Dinas Pariwisata Riau, Roni Rakhmat dan Putri Indonesia Pariwisata 2017, Karina Nadila.
“Tujuan kami datang tak lain untuk mempromosikan Festival Subayang. Jadi kami akan mempromosikannya bersama-sama Forkompimda. Kami turut merasa bangga, pasalnya menurut panitia, Festival Subayang telah digelar lima kali, sejak tahun 2016,” kata Syamsuar, Minggu (15/11/2020).
“Festival Subayang cukup bagus. Banyak destinasi wisata alam yang bisa dikembangkan lagi menjadi ekowista agar bisa semakin dikenal oleh para wisatawan nusantara dan mancanegara,” tutur Gubernur Riau.
“Dalam rangkaian kegiatan festival ini memiliki nilai-nilai adat yang sangat asli. Nah ini bisa menjadi nilai jual di sektor pariwisata. Tidak semua wisatawan suka terhadap hal-hal yang modern. Namun, banyak juga yang tertarik dengan konsep-konsep, atraksi wisata yang masih mengandung nilai-nilai adat yang masih asli,” sebutnya.
“Keaslian nilai-nilai adat ini harus dilestarikan dan dipertahankan, juga bisa diteruskan kepada anak, keponakan kita, agar bisa terbiasa dengan yang telah dilakukan oleh orang tua sejak jaman dahulu ini,” tandasnya.
Sementara, Kepala Dinas Pariwisata (Kadispar) Riau, Roni Rakhmat mengungkapkan, Festival Subayang idenya, bukan kumpul-kumpul biasa. Bukan helat pelepas tanya. Di lingkarannya, sebegitu besar harapan. Bahwa kenduri ini semoga sarat makna. Menjadi Spirit, menggugah inspirasi. Menghadirkan pikiran dan langkah baru.
“Kampar adalah bentang harapan. Kita saksikan bagaimana kecantikan alam, keunikan kultur, bersatu dalam harmoni. Sejarah, ragam peninggalan, kuliner dan permainan anak negeri. Kita mengenali aneka kesenian tradisi sampai lagu-lagu Ocu. Tak banyak daerah yang seperti Kampar. Sangat kaya dengan romansa, “ungkap Roni. (Anvedtorial/red)
Discussion about this post