BORGOLNEWS.COM, SIAK – Masjid Raya Syahabudin atau Masjid Raya Siak merupakan salah satu masjid peninggalan Sultan Siak. Lokasi masjid tua ini di Jalan Sultan Ismail, Kampung Dalam, Kecamatan Siak, Kabupaten Siak, Provinsi Riau, tepatnya di tepian sungai Jantan.
Masjid yang awalnya berdinding kayu ini jaraknya sekitar 500 meter dari Istana Siak. Setelah zaman Sultan ke -12 yakni Syarif Kasim II, masjid ini direnovasi dijadikan batu pada tahun 1926.
Budayawan Siak, Said Muzani mengatakan mesjid Syahabudin ini dilakukan renovasi lebih kurang selama 10 tahun. Zaman dahulu, di sekitar masjid Syahabudin ini terdapat sebuah menara tinggi yang berfungsi untuk orang azan.
“Menara itu untuk adzan, sebab zaman dahulu belum ada mic atau speaker, khususnya menara itu berfungsi pada saat adzan subuh,” jelas Said Muzani.
Dahulu, kenang Muzani saat dirinya masih kecil, bahwa Masjid Syahabudin merupakan sentral bagi masyarakat Siak untuk melaksanakan salat Jumat.
“Dari daerah kwalian, dari seberang Kampung Tengah, Mempura, dan Tanjung Agung. Mereka ke masjid menggunakan sampan,” jelasnya.
Bahkan, setiap bulan ramadan, masjid Syahabudin juga menjadi tempat bagi masyarakat untuk melaksanakan salat tarawih. ” Semuanya datang kemari bahkan dari seberangpun datang menggunakan sampan,” kata Dia.
Saat itu, tambahnya, di Masjid Syahabudin ada tradisi melambatkan setiap adzan isya untuk menunggu jamaah dari tempat yang jauh. “Dulu tak ada kendaraan lain, jadi ya memang harus seksama,” ungkapnya.
Sementara itu, untuk mengetahui masuknya waktu sholat, khususnya sholat Jumat, para muadzin menunggu Sultan Syarif Kasim II datang
. ” Tunggu sultan datang dulu, setelah sultan salat tahyatul masjid baru adzan dikumandangkan,” jelas Said Muzani.
Dijelaskannya, dahulu di masjid tidak ada jam, sementara jam hanya ada di Istana Siak. “Sultan Syarif Kasim II itu disamping seorang pemimpin ataupun penguasa beliau adalah orang yang umaro dan taat beribadah, bahkan beliau sempat jadi khatib di masjid Syahabudin,” kata Muzani.
Said Muzani ingat betul, dahulu sultan memiliki buku untuk berkhutbah dan buku itu sempat dipegang oleh salah satu imam di masjid Syahbudin saat itu. “Kalau tak salah saya buku itu sama pak Kadi Nontel atau pak Abdul Muthalib,” ungkap Muzani lebih jauh
. Bentuk Masjid Syahabudin itu sendiri sultan mengadopsi gaya campuran Turkey dan Eropa. Makanya hampir mirip-mirip dengan bangunan Istana Siak karena mengadopsi gaya dari timur tengah.
Untuk bangunan masjid sendiri sejak dahulu tidak ada perubahan, hanya saja beberapa kali dilakukan renovasi namun tidak merubah bentuk termasuk luas masjid dan warna cat masjid.
Untuk bagian lantai, masjid Syahabudin tidak menggunakan keramik pada saat itu. “Dahulu di semen halus saja, tapi sangat sejuk, saya ingat waktu kecil saat puasa sering kami tidur di dalam sini karena sejuk,” beber Said Muzani mengenang masa kecilnya
. Muzani berharap, kedepan masjid Syahabudin bisa memiliki menara tempat orang adzan zaman dahulu. Setidaknya itu sebagai tanda bahwa zaman dahulu itu ada menara untuk adzan memanggil orang salat.
Saat ini, Masjid Raya Syahabuddin tidak hanya digunakan sebagai tempat beribadah, lebih dari itu masjid ini juga menjadi salah satu situs cagar budaya. Masjid Raya Syahabuddin terletak berdampingan dengan komplek pemakaman Sultan Syarif Kasim II beserta keluarganya. (red)
Sumber goriau.com
Discussion about this post