BORGOLNEWS COM – KUANSING – Perkebunan merupakan andalan devisa penerimaan Negara di Sektor pertanian, untuk itu keberadaan usaha perkebunan perlu mendapat perhatian serius dari Negara. Keseriusan ini diwujudkan dengan regulasi setingkat undang-undang sebagai dasar dan acuan usaha perkebunan, yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
Sebab sektor perkebunan menyangkut hajat hidup orang banyak terutama terkait dengan penggunaan lahan, maka pihak yang akan melakukan usaha perkebunan di atas luas 25 hektar harus berbentuk badan hukum serta wajib memiliki izin usaha perkebunan dan hak atas tanah.
Baru ini Tim DPD SPI Kuantan Singingi menyempatkan turun ke lokasi yang di duga kebun milik Gunawan Tanuji alias Ahguan yang mana diduga berada di Hutan Produksi Konversi (HPK) tidak memiliki izin pelepasan konsesi dan tidak memiliki izin usaha perkebunan lebih dari 25 Hektar. Kebun Ahguan dan Ahau di perkirakan luas lahan 380 Hektar di HPK terletak di desa Jake, kebun Nenas Kecamatan dan kecamatan Sentajo Raya.
Tutur pekerja yang tidak mau di sebut namanya, Selasa, 02/04/2024 mengatakan, kalau dari pohon pinang (menunjuk ke arah Utara) itu kebun Ahau Pak, dan di sebelah kiri (menunjuk ke arah selatan) itu kebun Ahguan, luasnya lebih kurang 380 Hektar untuk lebih lanjut coba di hubungi humasnya Pak! itu Anggota dewan aktif Aprison, jelasnya.
Saat di hubungi Tim, Aprison Anggota DPRD Kuansing Aktif dan Ahguan 01/04/24 terkait perkebunan diatas HPK belum mendapat respon di duga alergi wartawan
Seperti yang pernah dikatakan Pakar Hukum Kehutanan dari Universitas Al Azhar Indonesia Dr Sadino hal ini sesuai penjelasan Pasal 19 ayat (1) PP No. 10 tahun 2010, dimana pelepasan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) bisa dilaksanakan tanpa melalui penelitian Tim Terpadu. Terlebih apabila dikaitkan dengan ketentuan Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Menurut Sadino, pada UU Cipta Kerja Pasal 110A, mengamanatkan, setiap orang yang melakukan kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki Perizinan Berusaha di dalam kawasan hutan sebelum berlakunya UU ini yang belum memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak UU ini berlaku atau paling lambat 3 November 2023.
Kemudian, jika setelah lewat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya UU ini tidak menyelesaikan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku dikenakan sanksi administratif berupa: a. pembayaran denda administratif; dan/atau b. pencabutan Perizinan Berusaha.
“Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif dan tata cara penerimaan Negara bukan pajak yang berasal dari denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam PP,” tegasnya.
UU Cipta Kerja jo Perpu 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja Klaster Kehutanan terkait dengan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan mengalami beberapa perubahan dalam substansinya.
Tentunya norma hukum kehutanan juga harus senafas dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja jo Perpu 2 Tahun 2022 sebagaimana terlihat dari landasan filosofis dan tujuan dari dikeluarkannya UU Cipta jo Perpu 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja itu sendiri yang juga menganut asas hukum ultimum remedium.
Sadino menegaskan, mengapa UU Cipta Kerja menganut asas ultimum remedium bukan primum remedium?. Sebab, sanksi pidana merupakan ”obat terakhir” (ultimum remedium) dari rangkaian penegakan hukum suatu aturan hukum.
”Obat terakhir” ini merupakan jurus pamungkas jika mekanisme penegakan pada bidang lain tidak bekerja efektif. Kebalikannya primum remedium, penegakan hukum mengutamakan penerapan sanksi pidana,” tegasnya.
Menurut Sadino, UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memuat terobosan kebijakan baru dengan menerapkan prinsip ultimum remedium yaitu mengedepankan pengenaan Sanksi Administratif sebelum dikenai sanksi pidana terhadap pelanggaran yang bersifat administratif.
“Pengaturan prinsip ultimum remidium tersebut tercermin dalam pengaturan norma Pasal 110A dan Pasal 110B Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja jo Perpu 2 tahun 2022,” pungkasnya.
Sementara itu, saat di konfirmasi 02/03/2024 Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM PTSP) Kab. Kuantan Singingi Jon Pite Alse juga belum mendapat jawaban terkait perihal diatas, padahal sewaktu dilantiknya Jon Pite alse, rabu 11/01/2023 Bupati Kuantan Singingi sempat berpesan “agar Kepala Dinas Perizinan dan Penanaman Modal lakukan audit seluruh perizinan yang ada di Kabupaten Kuantan Singingi”, tegasnya
Selaku Ketua DPD SPI Kab. Kuantan Singingi Wawan Syahputra melalui keterangan rilisnya kepada media yang tergabung di SPI dan patner mengatakan, kerena susahnya para pejabat Kab. Kuansing di konfirmasi menimbulkan dugaan pejabat elergi terhadap wartawan begitu juga pengusaha pihak swasta dan akan terus mencoba konfirmasi lanjutan kepada pihak – pihak terkait terkait kepemilikan kebun di atas HPK tersebut.
Diminta juga kepada APH turut serta terkait perihal permasalahan kebun di atas HPK Desa Jake Kecamatan Kuantan Tengah dan Kecamatan Sentajo Raya, agar permasalahan tersebut hingga terang benderang di hadapan Publik sebab ambang batas UU Cipta Kerja hingga November 2023, ungkap Wawan.
(Rilis DPD SPI Kuansing)
Discussion about this post