BORGOLNEWS.COM JAKARTA – Keputusan Kejaksaan Agung untuk tidak mempidanakan sejumlah jaksa yang menerima uang hasil tilapan mantan jaksa Azam Akhmad Akhsya kembali menimbulkan perdebatan panjang soal integritas lembaga penegak hukum.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna, mengatakan bahwa keputusan tersebut diambil karena tidak ada unsur kesengajaan dari para penerima.
“Yang proaktif dengan pengacara adalah si Azam, otaknya dia. Inisiasinya datang dari dia,” ujar Anang di Jakarta, Jumat (10/10/2025).
Pernyataan itu sekaligus menjawab pertanyaan publik mengapa para jaksa yang disebut dalam dakwaan tidak dijerat pidana, meski namanya tercantum sebagai penerima uang hasil penggelapan barang bukti dari kasus investasi bodong Robot Trading Fahrenheit.
Kronologi Kasus: Barang Bukti Berubah Jadi “Bonus”
Mantan jaksa Azam Akhmad Akhsya, yang kala itu bertugas di Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, terbukti menilap barang bukti berupa uang senilai Rp23,9 miliar dari perkara Robot Trading Fahrenheit.
Ia bekerja sama dengan dua pengacara, Oktavianus Setiawan dan Bonifasius Gunung, untuk mencairkan dana yang seharusnya disita negara.
Azam kemudian membagi hasil rampokan itu ke berbagai pihak:
Untuk dirinya sendiri: Rp1,1 miliar,
Untuk istri dan keluarga: Rp8,2 miliar,
Sisanya dibagikan ke sejumlah pejabat di Kejari Jakarta Barat.
Dalam surat dakwaan, disebut bahwa uang mengalir ke:
Hendri Antoro (Kajari Jakbar): Rp500 juta
Iwan Ginting (mantan Kajari Jakbar): Rp500 juta
Dody Gazali (Kasi Barang Bukti): Rp300 juta
Sunarto (mantan Kasi Pidum): Rp450 juta
M. Adib Adam (Kasi Pidum): Rp300 juta
Baroto (Kasubsi PraPenuntutan): Rp200 juta
Seorang staf: Rp150 juta
Semua nama tersebut telah dijatuhi sanksi oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) dalam bentuk pencopotan jabatan, pembebasan tugas jaksa, dan penempatan di bagian tata usaha selama satu tahun.
Namun, tak ada satu pun yang diproses secara pidana.
Hukum Administratif Gantikan Sanksi Pidana
Kejaksaan menilai, hukuman etik sudah cukup untuk menegakkan disiplin di internal.
“Tidak semua pelanggaran etika otomatis masuk pidana. Dalam kasus ini, penerimaan uang tidak dilakukan dengan niat jahat atau kesepakatan bersama,” ujar Anang.
Namun, alasan ini justru menimbulkan kritik dari berbagai kalangan.
Pengamat hukum tata negara dari Universitas Islam Indonesia, Bayu Dwi Anggono, menilai keputusan itu bisa memperlemah kredibilitas Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum.
“Kalau rakyat biasa menerima uang hasil kejahatan, pasti dipidana. Tapi kalau jaksa, cukup dipindahkan jabatan. Ini menimbulkan persepsi hukum tumpul ke atas,” kata Bayu.
Cermin Lemahnya Akuntabilitas Internal
Kasus ini memperlihatkan paradoks besar dalam sistem hukum Indonesia: lembaga yang seharusnya menegakkan hukum justru sulit menegakkan aturan di dalam tubuhnya sendiri.
Menurut mantan anggota Komisi Kejaksaan, Barita Simanjuntak, persoalan ini bukan semata tentang siapa yang bersalah, tapi bagaimana mekanisme pengawasan internal bisa gagal menegakkan keadilan.
“Ketika sanksi administratif dijadikan pengganti pidana, kita sedang menciptakan zona abuabu di dalam institusi hukum. Ini berbahaya,” ujarnya.
Barita menambahkan, publik tak bisa menilai sanksi etik sebagai bentuk keadilan yang memadai karena tidak ada transparansi atas prosesnya.
“Publik hanya tahu hasil akhirnya: dipindah ke bagian tata usaha. Tapi bagaimana proses pembuktian, siapa yang benarbenar menerima, dan apakah uangnya dikembalikan — itu tidak pernah dijelaskan secara terbuka,” katanya.
Di Mana Rasa Keadilan Publik?
Kasus ini memunculkan pertanyaan yang sama seperti dalam banyak perkara korupsi internal: apakah sistem pengawasan di lembaga penegak hukum cukup independen?
Pakar etik publik, Titi Anggraini, menilai Kejagung seharusnya tidak hanya mengandalkan sanksi administratif, tetapi juga membuka ruang penyelidikan etik yang melibatkan pihak luar, seperti Komisi Kejaksaan atau KPK.
“Kalau semuanya diselesaikan di ruang tertutup, sulit bagi publik untuk percaya bahwa tidak ada perlindungan terhadap oknum,” ujarnya.
Menurutnya, keadilan publik bukan hanya soal hukuman, tapi juga soal transparansi dan akuntabilitas.
“Jika jaksa bisa menerima uang dan hanya dimutasi, maka pesan yang sampai ke masyarakat adalah: kejujuran tidak lebih penting dari jabatan.”
Kejaksaan di Persimpangan
Kasus Azam Akhmad menempatkan Kejaksaan Agung pada dilema besar antara menjaga citra lembaga dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
Meski langkah administratif bisa dianggap sebagai bentuk penertiban internal, namun bagi publik, keputusan untuk tidak mempidanakan penerima uang hasil kejahatan tetap terasa janggal.
Keadilan yang setengah ditegakkan sama artinya dengan kepercayaan yang setengah runtuh.
Dan di tengah sorotan publik, Kejaksaan kini ditantang untuk menjawab satu pertanyaan sederhana:
Apakah hukum masih berlaku sama bagi semua orang — termasuk bagi mereka yang menegakkannya?.















Discussion about this post