BORGOLNEWS.COM Saya Dr. H. Mohd. Yusuf Daeng M. S.H., M.H. Saya bicara kapasitas pribadi karena mantan
ketua KKSS Riau di Kepulauan Riau yang terakhir sebelum berpisah Riau dan Kepulauan Riau
sekitar tahun 2004. Pidato saya terakhir di gedung Sport Center Batam antara pemisahan KKSS
Provinsi Riau dengan Provinsi Kepulauan Riau. Dari pada proses pemekaran menjadi Provinsi
Kepulauan Riau. Saya juga menulis buku Bugis di Semenanjung Melayu, buku ini saya tulis
pada tahun 2008 sekitar 15 Tahun yang lalu dan kita ingin melihat bagaimana perkembangan
hukum mengenai kasus Rempang. Isu ini menjadi isu hukum baik internasional maupun nasional
kita lihat karena menyangkut soal etnis suku melayu. Kondisi ini kita sangat prihatin, maka
melihat kebelakang sejarah ini dilihat bahwa Bugis tidak bisa dipisahkan dengan orang melayu.
Ketika pada tahun 2004 saya berkunjung ke Leiden University, banyak sekali buku yang saya
baca tentang bugis karya-karya nasional maupun internasional dan narasumber itu bahwa
dimana-mana pesisir pantai semenanjung melayu bisa dipastikan bahwa ada orang bugis. Maka
orang bugis ini tidak lah menjadi sekedar satu menambah populasi penduduk tetapi punya
peranan penting didalam keberadaan kerajaan-kerajaan melayu dimasa lalu khusus nya di Riau.
Kalau kita lihat bagaimana peranan orang-orang bugis membantu kerajaan-kerajaan di
Kepulauan Riau di Penyengat, Johor, Selangor dan Indragiri dan seterusnya. Maka, dua pertautan
ini Puak-Puak Melayu dan Puak Bugis dalam sumpahnya “bugis tersakiti melayu sakit, melayu
tersakiti bugis pun sakit”. Bahwa konteks ini kita lihat dari ratusan tahun yang lalu puak-puak
seperti ini tidak bisa lagi di buat satu terpisah tapi adalah puak yang menjadi satu. Tertautan
bugis dengan melayu. Kasus rempang kita lihat ini sudah berlanjut pada ekses lain tidak lagi
menyangkut suatu hal sengketa tanah, pengosongan lahan, investor ingin membangun suatu
industri yang besar kemudian bagaimana peraturan pemerintah, bagaimana surat-surat terdahulu
menguasai. Sekarang menjadi persoalan kriminil, persoalan ini tidak lepas dari pada adanya
marwah. Bagaimana marwah itu, inilah marwah orang melayu tidak lagi berpikir masalah hal-hal
yang lain tapi dia merasa terusik dikampungnya sendiri, dia merasa pendatang dikampungnya
sendiri, dan merasa asing dinegerinya sendiri sehingga kondisi-kondisi seperti ini suka tidak suka
adalah memberikan perlawanan. Perlawanan fisik sudah dilakukan sebagaimana kita saksikan
diberbagai media tetapi kita ingin melihat bahwa perlawanan bisa dilakukan dengan cara melalui
jalur hukum maka kami atau saya pribadi saya menawarkan diri untuk bisa berperan untuk
masuk di tim atau di sektor hukum ini maupun sektor-sektor lain sebab persoalan ini adalah
persoalan hukum tidak bisa kita biarkan seperti itu. Kalau kita melihat komentar bahwa itu
adalah kawasan area kosong setiap kosong dalam Undang-undang Agraria tanah dikuasai oleh
negara. Persepsi seperti ini kan berkembang padahal negeri ini sudah dikuasai ratusan tahun
berada di bumi pesisir pantai, pesisir laut, menandakan bahwa dari sejak dulu pada satu intraksi
ekonomi yang terjadi di daerah itu. Maka, saya berpendapat bahwa kasus seperti ini lebih
mantap, lebih bagus, lebih elok jika dibawa ke arena hukum. Sambil itu negosiasi berjalan,
pendekatan berjalan, sehingga memperkecil kemungkinan untuk pertumpahan darah dan
memperkecil kemungkinan menimbulkan benih-benih yang menjadi persoalan dan sejarah pahit.
Maka, kedua belah pihak mungkin dapat kita ajak supaya bisa menahan diri dan pemerintah
kabupaten, provinsi di kepulauan riau dengan bijak mengkedapankan secara humanis bahwa rasa
kemanusiaan lebih penting dari segalanya, faktor ekonomi itu juga penting tetapi jika hal
masalah peradaban masalah budaya terinjak-injak saya kira lebih bermarwah budaya itu dari
pada ekonomi. Ekonomi bisa saja kapan dibangun tetapi marwah budaya itu akan dikenang oleh
satu generasi ke generasi berikutnya. Maka sekali lagi saya sangat berharap kami berperan tentu
dari segi aspek hukum sebagai lawyer dan buku saya ini banyak menceritakan tentang
bagaimana orang-orang bugis di semenanjung melayu Inhil, tentu masalah tengku sulong lebih
dominan. Bagaimana gambaran tengku sulong adalah gambaran-gambaran secara keseluruhan
bahwa orang bugis dimana pun kerajaan-kerajaannya, semenanjung melayu punya peran yang
cukup banyak. Dan lihat juga sejarah yang diukir yang dibuat adalah Raja Haji, Raja Ali Haji
dari 5 Opu Daeng Marewa di dalam membangun simbol-simbol negara, simbol-simbol bahasa
indonesia dalam cikal bakal dari bahasa melayu yang dibuat dari keturunan keturunan maupuh
daeng celak, daeng marewah, daeng menambung, daeng kemasok maka hari ini jika tidak bisa
memejamkan mata tapi kita harus membuka mata apa yang terjadi pada saudara-saudara kita
orang melayu di Rempang khususnya di Kepulauan Riau.
Terimakasih Yusuf Daeng
Discussion about this post