Oleh: Popi Kurniawan
Penulis merupakan dosen dan mahasiswa Program Doktor Pendidikan Universitas Riau.
BORGOLNEWS.COM, Pekanbaru
– Pendidikan hingga saat ini masih sangat ampuh dalam membangun kecerdasan bangsa sekaligus membentuk kepribadian anak menjadi lebih baik. Pendidikan secara terus-menerus harus dibangun dan dikembangkan agar dari pelaksanaannya menghasilkan generasi yang diharapkan. Perkembangan pendidikan dan kemajuan bangsa diharapkan tidak tertinggal dengan negara lain yang pendidikanya sudah lebih maju.
Dalam rangka menghasilkan peserta didik yang unggul dan sesuai harapan, proses pendidikan senantiasa dievaluasi dan diperbaiki kualitasnya. Salah satu upaya perbaikan kualitas pendidikan adalah munculnya gagasan mengenai pentingnya pendidikan karakter dalam dunia pendidikan Indonesia. Gagasan ini muncul karena proses pendidikan yang selama ini dilakukan dinilai belum sepenuhnya berhasil dalam membangun manusia Indonesia yang berkarakter.
Bahkan, ada juga yang mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia telah gagal dalam membangun karakter, penilaian tersebut didasarkan banyaknya lulusan sekolah dan sarjana yang cerdas secara intelektual akan tetapi berperilaku tidak sesuai dengan tujuan mulia pendidikan.
Perilaku yang tidak sesuai dengan tujuan pendidikan yang mulia itu, misalnya tindakan korupsi dan kesewenangan yang dilakukan oleh beberapa oknum pejabat yang berpendidikan tinggi. Hal tersebut menandakan bahwa pendidikan yang ditempuh belum berhasil, artinya masih kurangnya pemahaman seseorang atau oknum tersebut dalam menghadapi apa yang menjadi tugas atau tanggungjawabnya. Sehingga dalam rangka membangun karakter di dalam diri peserta didik, lembaga pendidikan atau setiap sekolah semestinya menerapkan semacam “budaya sekolah” dalam rangka membiasakan karakter yang akan dibentuk. Budaya sekolah dalam pembentukan karakter ini harus terus-menerus dibangun dan dilakukan oleh semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan di sekolah.
Hal itu sejalan dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional: “Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan taat kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, keterampilan managemen diri sendiri serta orang lain (soft skill). Hal ini menunjukkan peningkatan kualitas pendidikan karakter siswa sangatlah penting. Artinya, sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat, dibutuhkan paradigma pendidikan kejiwaan yang berorientasi pada karakter bangsa.
Paradigma ini tidak sekadar memburu kepentingan kognitif (pikir, nalar, dan logika), tetapi juga memperhatikan dan mengintegrasi persoalan moral dan keluhuran budi pekerti.
Tantangan terbesar dalam dunia pendidikan saat ini adalah degradasi moral. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan fakta bahwa pada tahun 2018 terjadi kenaikan kasus pelajar tawuran di Indonesia sejumlah 1,1%. Sementara itu, pada tahun 2020 banyaknya kasus bullying menambah catatan masalah yang dialami anak Indonesia (KPAI, 2020). Sementara itu, Fenomena tersebut menggambarkan bahwa perilaku dan karakter bangsa yang menyimpang marak terjadi sehingga perlu diciptakan kesadaran untuk menanamkan karakter.
Karakter bangsa yang baik perlu dibentuk dan dibina sebagai upaya untuk meningkatkan SDM itu sendiri. Oleh sebab itu, pendidikan karakter menjadi salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menuntaskan persoalan besar dalam dunia pendidikan. Salah satu pendidikan karakter yang menjadi visi misi dari kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah melalui Profil Pelajar Pancasila.
Profil Pelajar Pancasila sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2020-2024 merupakan perwujudan pelajar Indonesia sebagai pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Pelajar Pancasila memiliki ciri utama yaitu beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif.
Keenam ciri utama yang menjadi indikator seorang siswa sekolah dikatakan sebagai Profil Pelajar Pancasila tersebut bukanlah sesuatu hal yang baru dalam kehidupan masyarakat di Bumi Lancang Kuning ini. Keenamnya merupakan falsafah dan menjadi jati diri bagi orang Melayu Riau. Pujangga Besar dari tanah Melayu ini, Raja Ali Haji sudah terlebih dahulu memberikan pembelajaran karakter melalui karya sastra kepada anak-anak jati Melayu Riau jauh sebelum Pancasila digaungkan.
Barang siapa tiada memegang agama,
sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama.
…
Jika hendak mengenal orang mulia,
lihatlah kepada kelakuan dia.
…
Jika hendak mengenal orang yang baik perangai,
lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai.
…
(Gurindam XII Raja Ali Haji)
Selain Gurindam XII, masyarakat Melayu Riau memiliki Tunjuk Ajar Melayu karya Tenas Effendy yang berisi pernyataan yang bersifat khas, mengandung nilai nasihat dan petuah, amanah, petunjuk dan pengajar serta contoh teladan yang baik. Tunjuk Ajar Melayu ini dapat mengarahkan manusia pada kehidupan yang benar dan baik serta diharapkan selalu dalam keridhaan Allah SWT. untuk mendapatkan kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat. Tunjuk Ajar Melayu tidak bicara setakat persoalan karakter, akan tetapi mengandung nilai konseling spiritual yang dapat digunakan untuk membimbing kondisi spiritual seseorang yang merupakan dasar paling hakiki bagi masyarakat Melayu untuk berbaik perangai.
Apa tanda orang beradat
Elok perangai sempurna sifat
Apa tanda orang terpandang
Bercakap tidak menista orang
Apa tanda orang bermarwah
Kalau bicara tidak menyalah
…
(Tunjuk Ajar Melayu karya Tenas Effendy)
Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu, karena itu dapat mengubah anak yang pengecut menjadi pemberani. Petuah Umar Bin Khattab, R.A., tersebut cukup menggambarkan kaitan erat antara sastra dan pembentukan karakter seseorang. Dengan mengajarkan sastra (baik di sekolah ataupun di rumah), kita menjadi tahu makna kehidupan. Kita menjadi terbiasa untuk mengungkapkan sesuatu dengan keindahan dan kelembutan. Sastra mengajarkan kita untuk peduli dan empati. Ajaran-ajaran agama dan nilai-nilai moral bisa diungkapkan tanpa kesan menggurui.
Bahkan, dalam sebuah karya sastra kita bisa mengenali karakter dan menemukan nilai-nilai yang bisa menunjang pembentukan watak seseorang. Sastra mampu masuk ke hati sehingga memperbaiki moralitas pelajar. Hal senada juga disampaikan Ratna (2006: 60), bahwa pada dasarnya antara sastra dengan masyarakat terdapat hubungan yang hakiki.
Dalam salah satu bukunya Rahmanto (1988), mengatakan seseorang yang telah banyak mendalami berbagai karya sastra biasanya mempunyai perasaan yang lebih peka untuk menunjuk hal mana yang bernilai dan mana yang tak bernilai. Selanjutnya, dia akan mampu menghadapi masalah-masalah hidupnya dengan pemahaman, wawasan, toleransi, dan rasa simpati yang lebih mendalam. Dalam karya sastra terkandung nilai-nilai, pesan yang dibungkus dalam cerita yang merefleksikan kehidupan sosial, konflik cerita, serta cara-cara tokoh mengelola konflik. Hal ini tentu saja memberikan pelajaran kepada seseorang untuk menghadapi persoalan kehidupan.
Melalui pembacaan yang mendalam, sastra pada akhirnya mampu mengubah karakter seseorang. Dengan sendirinya, ketika kita membiasakan membaca dan memahami teks-teks sastra, maka cita rasa itu muncul sendiri dan mengubah pola sikap kita.
Mempelajari sastra mampu menyentuh bahkan menggerakkan perasaan kita hingga mengubah pola sikap dan membentuk karakter. Di dalamnya terkandung pesan-pesan moral, ungkapan kata-katanya menimbulkan kesan estetis. Nilai-nilai yang baik tentu akan kita temukan jika karya sastranya juga mengandung ruh spiritual dan kebaikan. “Sesuatu yang dibutuhkan untuk menghaluskan jiwa adalah seni dan sastra” (Buya Hamka).
Terkait dengan hal-hal tersebut, pengkarya sastra atau sastrawan punya kewajiban untuk berkontribusi dalam membangun karakter bangsa, khususnya di Provinsi Riau yang sangat kental dengan budaya Melayu. Pengkarya di Bumi Melayu ini harus mampu menghasilkan¬¬¬ karya-karya sastra yang menceritakan kemelayuan negeri ini dengan segala falsafahnya. Tidak hanya setakat “menelurkan” karya atas dorongan literasi instan (karya jemputan penerbit tanpa melalui meja editor), tetapi karya-karya yang mampu berbicara dan memberikan arti literasi yang sebenarnya. Literasi yang mampu mengaktualkan segala informasi kemelayuan untuk menjadikan anak jati Melayu sebagai Profil Pelajar Pancasila.
Mengembangkan nilai-nilai kepribadian pada siswa membutuhkan strategi pembelajaran dan keterampilan khusus. Maka dari itu sekolah harus mengetahui nilai karakter yang akan dikembangkan pada siswa. Program pengimplementasian nilai karakter bisa dicapai dengan pembelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah.
Khusus di Provinsi Riau, pembelajaran Budaya Melayu Riau (BMR) sebagai pelajaran muatan lokal dapat dijadikan solusi terdepan guna memperbaiki karakter siswa di sekolah. Siswa harus ditanamkan nilai-nilai positif dan falsafah hidup masyarakat Melayu Riau lewat karya-karya sastra yang bernas. Tinggal bagaimana masyarakat dan pihak sekolah mampu mengimplementasikannya. Karena pada dasarnya, pendidikan karakter adalah usaha yang dilaksanakan dalam proses internalisasi siswa, menunjukkan dan mengembangkan nilai-nilai yang baik.
Melalui upaya internalisasi nilai-nilai kebajikan yang ada pada diri siswa diharapkan dapat tercipta kebiasaan berperilaku yang baik bagi siswa tersebut (Perdana, 2018).
Pendidikan dan sastra yang akan membentuk karakter generasi penerus Bangsa Indonesia, memerlukan komitmen semua pihak, baik dari kalangan bawah hingga kalangan atas.
Jika kesadaran akan pentingnya pendidikan karakter dalam kemajuan bangsa telah baik dan menunjukan persentase yang terus berkembang, maka itu telah menunjukan salah satu indikator bahwa negara itu telah berkembang. Bangsa yang generasinya memiliki karakter yang baik berarti telah mengalami kemajuan dalam bidang pendidikan dan yang terpenting akan mampu meningkatkan taraf hidup serta rasa nasionalisme terhadap bangsa dan negara, khususnya di Bumi Lancang Kuning ini.
Memang, membentuk siswa yang berkarakter bukan suatu hal yang mudah dan cepat. Hal tersebut memerlukan upaya terus-menerus dan refleksi mendalam untuk membuat dan membentuk watak seseorang.
Pencanangan pendidikan karakter tentunya dimaksudkan untuk menjadi salah satu jawaban terhadap persoalan bangsa yang saat ini banyak dilihat, didengar, dan dari banyaknya persoalan yang muncul bersumber dari gagalnya pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai moral terhadap peserta didiknya.
Tujuan pendidikan tidak hanya membentuk siswa yang cerdas dan kompeten akan tetapi juga menciptakan siswa yang berkarakter kuat. Sementara itu, pendidikan karakter yang diterapkan di Indonesia khususnya di Riau masih kurang berhasil, karena dalam pelaksanaanya belum mencakup semua sekolah dan belum maksimal. Proses pendidikan di sekolah masih banyak yang mementingkan aspek kognitif ketimbang psikomotoriknya. Konsep pembelajaran karakter tidak cukup dijadikan sebagai suatu rencana pelaksanaan pembelajaran di sekolah, namun harus lebih dari itu, dijalankan dan dipraktikkan.
Pelajaran Budaya Melayu Riau harus lebih digalakkan dan berkelanjutan, sehingga dapat menimbulkan dampak yang baik bagi perkembangan peserta didik dan pembelajaran sastra di sekolah, khususnya di Riau. Meskipun pada tahun-tahun terakhir ini, kondisi dunia sastra Riau semakin berkembang, hal ini bisa dilihat dari satu sisi produksi teks yang berlimpah-ruah dan banyaknya penulis muda berbakat, namun pada sisi lain, kuantitatif produksi teks ini justru melahirkan sekian banyak persoalan serius yang menggiringnya. Mulai dari persoalan kualitas teks itu sendiri, keseragaman bahasa ungkap, miskinnya penggalian tema dan kurangnya penggalian eksplorasi-teknik. Sehingga karya yang sudah diterbitkan tidak menjadi bahan ajar yang cukup baik -terkait persoalan karakter¬, tetapi hanya tersusun rapi dalam rak buku dan di perpustakaan sekolah. Tentu saja, permasalahan ini juga memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh dan mendalam. Karya-karya sastra yang dilahirkan oleh sastrawan Riau harus lebih banyak bercerita tentang Riau dengan segala falsafah hidupnya serta dapat menjadi media pembelajaran dalam menanamkan karakter anak jati Melayu yang pancasilais. Sehingga pelajaran Budaya Melayu Riau dapat menjadi tolak ukur meningkatnya karakter siswa sekolah di Provinsi Riau ke arah yang lebih baik.
Akhirnya, ajarkan sastra pada anak-anak kita di sekolah, agar mereka berani menegakkan kebenaran dan agar karakter bangsa akan tetap terjaga.
Ajarkanlah anak-anak kita sastra agar jiwa-jiwa dan raga mereka akan tetap hidup, sehingga generasi kita akan memiliki pribadi tangguh dan mempunyai karakter yang kuat. Begitu banyaknya manfaat pembelajaran sastra bagi siswa sekolah, maka sudah sepatutnyalah kita sebagai guru dan orang tua memberikan bacaan-bacaan dan karya seni sastra yang berkualitas kepada mereka.
Sehingga apa yang mereka pelajari dari sumber bacaan, akan sangat berguna bagi perkembangan karakter dan pola pikir mereka. Your education today is your economy tomorrow.
(Edi Palembang)
Discussion about this post