BORGOLEWS.COM BENGKALIS – Petani sawit yang ada di Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis Riau, akhirnya angkat bicara terkait tuduhan pencurian yang dituduhkan kepada mereka merupakan persoalan yang sudah lama jadi polemik bagi mereka
Beberapa petani menyampaikan, bahwa tuduhan yang selama ini terjadi yang dialamatkan kepada mereka adalah tidak benar menurut para petani justru yang terjadi adalah “pencurian” atas hak-hak masyarakat, baik oleh Koperasi, maupun oleh pihak perusahan itu sendiri.
Abdul Hakim salah satu pemilik lahan kepada media ini mengatakan bahwa pernyataan dan tuduhan pencurian yang dialamatkan kepada mereka, baik oleh perusahan, maupun pernyataan yang disampaikan oleh Alif Hartanto, perlu untuk diluruskan kembali.
“Hal pertama yang ingin kami luruskan, adalah bahwa kami bukanlah petani plasma, tapi kelompok tani bergabung dengan pola KKPA. Kami bergabung dengan koperasi, pasca HGU dan pendirian koperasi. Konsep petani plasma dan KKPA itu berbeda,”ungkap Abdul Hakim, Sabtu (22/01/22).
Abdul Hakim yang juga mantan Kades Jangkang menjelaskan bahwa kalau petani plasma mendapatkan lahan dari bagian HGU perusahan dalam jangka waktu tertentu, sedangkan pola KKPA adalah pola dimana masyarakat menyerahkan pengelolaan tanahnya kepada koperasi yang membangun kemitraan dengan perusahan. Hal ini sesuai dengan kesepakatan kerjasama dan penyerahan lahan, ditandatangani pada tahun 2005 silam.
“Saya adalah orang yang ikut menandatangani penyerahan lahan, karena pada waktu itu, saya menjabat sebagai kepala desa. Penyebutan kelompok petani Bantan sebagai anggota plasma adalah sebuah upaya penyesatan pikiran dengan maksud-maksud tertentu,”tegasnya.
Lebih lanjut Abdul Hamid mengungkapkan jika Perbuatan perusahan melaporkan petani dinilai salah alamat, karena berbeda dengan petani plasma, petani KKPA bukanlah anggota perusahan, melainkan anggota koperasi, dan proses pengelolaan lahan petani dilakukan melalui pinjaman ke Bank yang dilakukan oleh koperasi, dan petani KKPA menjadi bagian yang menanggung beban hutang pihak perusahaan tersebut.
“Posisi perusahan, dalam peminjaman ini, hanyalah sebagai avalis atau penjamin. Ada keanehan di sini, di saat petani meminta hak mereka, perusahan mengatakan bahwa hal itu adalah urusan internal koperasi, tapi ketika petani memanen dilahannya sendiri, kok perusahan melaporkan secara langsung, padahal kelompok tani adalah urusan internal koperasi,”ucapnya.
Kelompok tani desa Bantan Tua dan Jangkang, secara tertulis sudah menyatakan mengundurkan diri dengan menyatakan keluar dari keanggotaan Koperasi Meskom Sejati (KMS) pada tangga 26 Novmber 2021 lalu.
Menurut ketentuan perkoperasian, anggota koperasi dapat menarik diri dari sebuah koperasi, salah satunya dengan cara membuat keterangan/pernyataan secara tertulis. Keluarnya anggota dari koperasi Meskom Sejati, karena koperasi dipandang gagal memperjuangkan kepentingan anggota, dan justru berpihak pada kepentingan perusahan.
“Kami telah melalui proses bersurat, baik dengan koperasi dan perusahan, dalam hal pengunduran diri sebagai anggota koperasi Meskom Sejati, namun tidak pernah ditanggapi,”ucapnya lagi.
Pernyataan Abdul Hakim, dibenarkan oleh petani yang lain, Nurizan. Menurut Nurizan, selama ini hak petani tidak disalurkan oleh Koperasi, dan bahkan laporan yang dikeluarkan oleh koperasi bertolak belakang dengan data yang ada.
Nurizan juga membantah bahwa Petani Bantan Tua dan Jangkang menolak dituduh melakukan pencurian, dan sebaliknya menganggap bahwa pihak koperasi atau perusahanlah yang mencuri hak petani, dengan tidak membayar hak petani sebagaimana mestinya.
“Ironisnya, untuk lahan seluas lebih kurang 2 hektare, petani hanya mendapatkan Rp150 – 300 ribu per bulan, dan itupun tidak dibayarkan. Kami memiliki bukti rekening dan sejumlah dokumen tentang penggelapan hak petani yang dilakukan oleh pengurus koperasi. Koperasi Meskom Sejati pula, selama tidak pernah menjelaskan hasil kebun petani secara transparan selama bertahun-tahun, dan kami menduga telah terjadi kolusi antara koperasi dengan perusahan, dan koperasi juga kami nilai telah membuat laporan keuangan yang bertentangan dengan fakta sebenarnya,”terangnya
Selain itu, terkait pernyataan Saudara Alif Hartanto menyebutkan bahwa dirinya bukan merupakan bagian dari kegiatan kelompok tani, seperti dituduhkannya di media, adalah tidak benar dan merupakan upaya pembohongan publik.
Dikatakan Nurizan, pada awalnya mereka (Alif Hartanto red,) bersama bersama memperjuangkan hak masyarakat, dan rapat untuk memperjuangkan nasib kelompok tani, dengan cara melakukan panen di tanah yang menjadi hak mereka.
Justru Rapat itu, dilakukan dirumah saudara Ruslan Rozali dan saudara Alif Hartanto ikut sebagai seorang notulen. Dalam rapat tersebut, semua perwakilan kelompok tani ikut menanda-tangani bersama.
Patut pula diketahui, kata Nurizan, bahwa panen pertama lahan kelompok tani Bantan (bukan Wonosari, seperti yang dituduhkan), justru diikuti secara langsung oleh saudara Ruslan Rozali dan Alif Hartanto. Bahkan doa bersama kelompok tani, dilahan tersebut dipimpin oleh saudara Ruslan.
“Kami memiki bukti foto dan video dari kegiatan tersebut. Pernyataan saudara Alif Hartanto, menurut kami adalah pembohongan publik. Kita sedang mengumpulkan sejumlah bukti, juga tentang beredarnya tudingan soal melarikan uang dan sebagainya. Setelah bukti dan saksi terkumpul, kami berencana akan melaporkan mereka berdua ke Polres Bengkalis atau ke Polda Riau,”tegasnya
Perlu pula diketahui, ujar Nurizan, mereka juga telah menginisiasi RALB, karena koperasi tidak melaksanakan RAT. Berdasarkan hasil RALB (Rapat Anggota Luar Biasa), Ruslan telah diangkat menjadi Ketua, Saudara Alif Hartanto sebagai Sekretaris, dan Saudara Norizan sebagai Bendahara. Saudara Ruslan dan Alif Hartanto, kemudian meninggalkan kelompok tani begitu saja.
Koperasi, menurut Nurizan, selama ini tidak memperjuangkan nasib petani, sehingga pembagian hasil diberikan kepada petani, sangat tidak manusiawi, dan bahkan dalam laporan Koperasi, justru petani yang dianggap berhutang, sementara hasil sawit petani terus dipanen dan petani tak pernah diberikan penjelasan tentang hasil sebenarnya dari kebun mereka.
Selain itu, tambah Nurizan, petani dibebankan membayar biaya perawatan kebun sebesar Rp8.000.000 an pertahun, sementara perawatan tidak dilakukan selama sekitar 3 tahun ini.
Abdul Hakim dan berharap agar pihak koperasi menjelaskan dengan jujur kepada publik, sehingga persoalan kelompok Tani KKPA Desa Jangkang dan Bantantua tidak terus-menerus terzalimi. Petani juga berharap agar pemerintah daerah turun tangan dalam penyelesaian masalah ini.(del)
Discussion about this post