BORGOLNEWS.COM Pengamat Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi, Muhammad Arauf SH MH, angkat bicara terkait polemik yang terjadi di internal DPRD Kabupaten Bengkalis.
Menurut Dosen Fakultas Hukum Universitas Riau ini, hal ini merupakan bentuk ketidaktaatan mayoritas Anggota DPRD Kabupaten Bengkalis terhadap mekanisme dan prosedur hukum, yang menjadi dasar bergulirnya proses hukum Penggantian Antar Waktu (PAW) terhadap empat orang Anggota Fraksi Golkar.
Padahal prosedur PAW ini secara tegas sudah diatur dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), UU Nomor 2 tahun 2018 atas perubahan UU Nomor 17 tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), UU No 2 th/2011, sebagai perubahan atas UU 2 tahun 2008 tentang Parpol.
“Artinya Prosedur PAW Dewan ini kan sudah ada keputusan definitif, yang mengikat secara hukum. Karena SK Gubernur tentang pemberhentian Anggota DPRD Bengkalis ini merupakan produk hukum berupa keputusan (beschikking), yang sangat kuat dan harus dianggap sah, sebagai keputusan yg definitif, dan harus dilaksanakan (praduga rechmatig) oleh karena proses pembuatan produk ini pasti telah melalui berbagai tahapan sesuai aturan yang berlaku,” kata Arauf, Rabu (27/9/2023).
Gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) oleh empat Anggota DPRD Bengkalis yang dipecat ini, kata Arauf, bukan berarti menjadi alasan untuk mengabaikan proses hukum PAW tersebut.
“Putusan dari pimpinan sebagai administrasi dalam hal ini gubernur harus dianggap benar, Kalau memang mau menggugat ada prosedur hukumnya, yaitu PTUN, ada jalurnya. Yang jelas PAW ini harus dijalankan terlebih dahulu, sebagai bentuk ketaatan hukum kita sebagai warga negara yang baik,” tuturnya.
Jika mereka yang sudah dipecat oleh Gubernur Riau ini masih berkegiatan sebagai Anggota DPRD, Arauf mempertanyakan status mereka di DPRD. Padahal Psl 16 ayat (1), (2), (3) UU parpol secara tegas sudah mengatur kedudukan anggota dewan yang diberhentikan dari Parpol.
“Ketika mereka ikut rapat, mereka mewakili fraksi mana? Kan mereka sudah pindah partai, tidak bisa lagi mewakili Fraksi Golkar, karena statusnya sudah dicabut oleh partai dan juga oleh gubernur,” ulasnya.
Lebih jauh, Arauf juga menyinggung soal mosi tidak percaya yang berujung pada pemakzulan Ketua DPRD Bengkalis, Khairul Umam, dan Wakil Ketua I, Syahrial.
“Secara hukum, yang sah menjadi Ketua DPRD itu adalah Khairul Umam, karena yang berhak menentukan Ketua DPRD adalah partai pemenang, sejauh ini PKS selaku partai pemenang sudah menegaskan bahwa Khairul Umam sudah menjalankan tugas sesuai prosedur,” tuturnya.
Sehingga, jelas Arauf, alasan subjektif yang dibawa para pembuat mosi tidak percaya tidak bisa menjadi dasar untuk memberhentikan Pimpinan DPRD. Karena mereka secara hukum sah bertindak sebagai representasi rakyat di dewan mewakili parpolnya.
Jika DPRD Bengkalis tetap berkegiatan tanpa melibatkan Ketua DPRD yang sah, Arauf menilai segala produk hukum yang dikeluarkan DPRD Bengkalis potensi cacat hukum, karena secara resmi pimpinan Dewan ini masih bisa menjalankan fungsinya.
“Kalau ada pihak yang keberatan, ini bisa dipersoalkan keabsahan kualifikasi bertindak dari para anggotanya. Jadi tidak bisa hanya atas dasar bertindak kolektif kolegial saja, namun harus taat dulu terhadap proses administrasi yang sudah final untuk dijalankan,” katanya.
Terakhir, Arauf menyarankan seluruh Anggota DPRD Bengkalis harus bekerja sesuai dengan aturan, karena jika persoalan ini terus berlanjut, maka akan mengganggu kinerja lembaga DPRD.
“Dewan ini kan bekerja untuk kepentingan, dan kepentingan terbesar adalah rakyat, urusan rakyat harus diutamakan. Persoalan ini jelas merugikan rakyat, karena produk hukum yang dibuat potensi tidak sah,” tutupnya. ***
Discussion about this post